MASUKNYA
ISLAM DI JAWA
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen
Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si.
Oleh
:
1.
Siti Nur Azizah (133311081)
2.
Dina Milati Azka (133511002)
3.
Melinda
Khoirunnisa’ (133511003)
4.
Lita Wulansari W (133511006)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Islam di Nusantara, bukan hadir dalam wajah tunggal
namun kaya akan corak dan karakteristik sebagai wujud dari artikulasi doktrin
Islam yang beragam. Keberagaman tersebut dapat dikarenakan oleh sejarah dan
konteks yang berbeda yang melahirkan perilaku yang beragam tersebut. Islam
nusantara bukanlah bersifat a-historis.
Faktanya, ada banyak “Islam” sebagai identitas sosial masyarakat muslim
Nusantara yang menunjukan historisitas Islam Nusantara. Ada Islam NU,
Muhammadiyah, Wahabi, Kejawen, Liberal, dan lain sebagainya. Keberagaman
tersebut bukan hanya terkait dengan aspek ekspresi keberagamannya, namun juga
menyentuh wilayah nalar epistemisnya. Keberagaman Islam yang demikianlah yang
membuat tanah Indonesia semakin kaya akan citra beragama rakyat Nusantara.
Salah satu “Islam” yang meramaikan dunia agama
Nusantara adalah Islam Jawa. Jawa merupakan satu daerah yang memiliki
kebudayaan yang cukup berpengaruh di Indonesia. Kedatangan Hindu dan
kebudayaannya di Jawa berkembanglah Hindu-Jawa. Demikian pula dengan masuknya
Islam. Sampai sekarang, Islamisasi di Jawa masih mengalami perdebatan
historiografi. Sementara tanggapan terhadap wacana sejarah Islamisasi di Jawa
telah meluas di kalangan publik. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
dijelaskan mengenai teori-teori masuknya Islam di Jawa, proses penyebaran dan
peranan walisongo dalam membawa ajaran Islam di Jawa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
teori-teori masuknya Islam di Jawa?
2. Apa
teori-teori Penyebaran Islam di Jawa?
3. Bagaimana
peran walisongo dalam mengislamkan tanah Jawa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori-Teori
Masuknya Islam di Jawa
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut
Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah terdapat
3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia.
Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang
permasalahn waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku
penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.
1.
Teori Gujarat
Teori
berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya
berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar teori ini adalah:
a.
Kurangnya fakta yang menjelaskan
peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
b.
Hubungan dagang Indonesia dengan
India telah lam melalui jalur Indonesia – Cambay - Timur Tengah – Eropa.
c.
Adanya batu nisan Sultan Samudra
Pasai yaitu Mallik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Di antara para
pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard
H.M. vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan
perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan
Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marccopolo dari Venesia
(Italia) yang pernah singgah di Perlak (Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan
bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang
Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
Dalam L’arabie
et Ies Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan
pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nila-nilai Arab yang ada dalam
Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga
mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara
wilayah Nusantara dengan dataran India.
Sebetulnya,
teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari
Universitas Leiden. Namun, nama Snouck Hurgronje yang paling besar memasarkan
teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck dipandanng
sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh
banyak sarjana Barat lainnya.
2.
Teori Makkah
Teori ini
merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu
teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada
abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
a.
Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di
pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab): dengan
pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak
abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
b.
Kerajaan Samudra Pasai menganut
aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar waktu itu adalah
Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c.
Raja-raja Samudra Pasai menggunakan
gelar Al-Malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van
Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad
13 sudah berdiri kekuasaan polotik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi
jauh sebelumnya yaitu abad ke-7 dan yang berperan besar terhadap proses
penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
Kedua teori di atas mendatang kritikan yang
cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini
disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah
atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, namun pada
awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini
Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa
Khulafaur Rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspedisinya ke Nusantara
ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib memegang kendli sebagai amirul mukminin.
Bahkan sumber-sumber literatur Cina
menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab
Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini
diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk
komunitas-komunitas muslim.
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu
T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang
Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun 651 M atau 31 H. Empat tahun
kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’.
Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk amirul mukminin.
Dalam catatan tersebut , duta Tan mi mo ni’
menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali
berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslilm tersebut datang pada ,masa
kepemimpinan Utsman bin Affan.
3.
Teori Persia
Teori ini
berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari
Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya
masyarakat Islam Indonesia seperti :
a.
Peringatan 10 Muharram atau Asyura
atas meningganya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung
oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut
dengan upacara Tabuik/Tabuk. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan
bubur Syuro.
b.
Kesamaan ajaran Sufi yang dianut
Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al-Hallaj.
c.
Penggunaan istilah bahasa Iran
dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi harakat.
d.
Ditemukannya makam Maulana Malik
Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e.
Adanya perkampungan Leren/Leran di
Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar
Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Teori Persia, tanah Persia disebut-sebut
sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan
budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk
Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharram yang dijadikan sebagai
hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di
beberapa tempt di Sumatra Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda,
juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendudukung lain dari teori
ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya
Jabar dari Zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya. Teori ini
menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama
yang dijamah adalah Samudera Pasai.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya
masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori
tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai
pada abad ke-7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang
peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat
(India).
Proses masuk dan berkembangnya Islam ke
Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan jalan damai melalui beberapa
jalur/saluran yaitu melalui perdagangan seperti yang dilakukan oleh pedagang
Arab, Persia dan Gujarat. Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan
masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan
ajaran Islam. Selanjutnya diantara pedagang tersebut ada yang terus menetap,
atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat mendirikan perkampungan
Pekojan.
Dengan adanya perkampungan pedagang, maka
interaksi semakin sering bahkan ada yang sampai menikah dengan wanita
Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang.
Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaligh yang
menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren.
Pondok pesantren adalah tempat para pemuda
dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah
tamat dari pondok tersebut, maka para pemuda meenjadi juru dakwah untuk
menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing.
Di samping penyebaran Islam melalui saluran
yang telah dijelaskan di atas, Islam juga disebarkan melalui kesenian, misalnya
melalui pertunjukan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam
semakin cepat berkembang mudah diterima oleh rakyat Indonesia.
Secara keseluruhan teori masuknya Islam di
Indonesia dimulai dari daerah pesisir, seperti Pasai, Gresik, Goa, Talo,
Cirebon, Banten dan Demak. Ini terjadi karena terdapat pelabuhan sebagai pusat
perdagangan dan interaksi antar kawasan, realitas ini mencerminkan bahwa
masyarakat Islam periode awal adalah masyarakat kosmopolit. Sebagai masyarakat
kosmopolit dengan budaya kota dinamis tentu saja umat Islam nusantara telah
berhubungan dengan masyarakat Islam Negara lain.
Sebagaimana Islam di daerah lain, Islam di
Jawa juga berangkat dari daerah pesisir. Namun, dalam perkembangannya dari
tradisi pesisir ini kemudian melebar menjadi tradisi pedalaman yang mulai dari
Pajang ke Mataram (Tofud Abdullah, 1991: 81).[1]
B.
Teori-teori
Penyebaran Islam di Jawa
Ada dua pendekatan dalam proses penyebaran Islam di
Jawa. Pendekatan pertama disebut “islamisasi kultur jawa”. Islamisasi kultur
Jawa adalah proses pemasukan corak-corak Islam dalam budaya Jawa baik secara
formal maupun substansial.[2]
Sebagai contoh adanya Islamisasi kultur Jawa adalah slametan. Menurut Quraish
Syihab kata salam berarti luput dari kekurangan, kerasukan, dan aib. Kata
selamat diucapkan, misalnya jika terjadi hal-hal yang tidak baik diinginkan,
tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan pada kekurangan atau kecelakaan. Salam atau damai yang demikian adalah
“damai positif” dan juga “damai aktif”, yakni bukan saja terhindar dari
keburukan, tetapi lebih dari itu, dapat meraih kebajikan atau kesuksesan.
Kehadiran Islam di Jawa dalam bingkai kebudayaan
yang telah terbentuk sebelumnya dalam perpaduan kebudayaan Hindu dan kebudayaan
asli (Jawa) melahirkan sikap bahwa kehadiran Islam bukanlah sesuatu yang baru
untuk menggantikan yang lama akan tetapi menambahkan sesuatu kepada yang lama,
sehingga Islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
Pendekatan
yang kedua disebut Jawanisasi Islam. Jawanisasi Islam adalah pemasukan
nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam. Sebagai contoh:
“Tak uwisi gunem iki Niyatku mung aweh wikan Kabatinan akeh lire. Lan
gawat ka liwat-liwat. Mulo dipun prayitno Ojo keliru pamilihmu Lamun mardi
kabatinan”
“Saya akhiri pembicaraan ini Saya hanya ingin
memberi tahu Kebatinan banyak macamnya Dan artinya sangat gawat Maka itu
berhati-hatilah Jangan kamu salah pilih Kalau belajar Kebatinan”.[3]
Sejak masuk dan berkembangnya, Islam di Jawa
memerlukan proses yang sangat panjang dan melalui saluran-saluran Islamisasi
yang beragam, seperti perdagangan, perkawinan, tarekat (tasawuf), pendidikan,
dan kesenia.
1.
Perdagangan
Saluran Islamisasi melalui media perdagangan sangatlah menguntungkan. Hal
tersebut dikarenakan dalam Islam tidak ada pemisah antara aktivitas perdagangan
dengan kewajiban mendakwahkan Islam kepada pihak-pihak lain. Selain itu, dalam kegiatan
perdagangan ini, golongan raja dan kaum bangsawan lokal umunya terlibat di
dalamnya. Tentu saja sangat menguntungkan, karena dalam tradisi lokal apabila
seorang raja memeluk agama Islam, maka dengan sendirinya akan diikuti oleh
mayoritas rakyatnya. Ini terjadi karena masih kuatnya penduduk pribumi
memelihara prinsip-prinsip yang sangat diwarnai oleh hierarki tradisional.
Proses Islamisasi melalui jalur perdagangan ini dapat digambarkan sebagai
berikut. Pada awalnya, para pedagang berdatangan di pusat-pusat perdagangan
seperti pelabuhan-pelabuhan. Para pedagang ini selanjutnya ada yang tinggal,
baik untuk sementara waktu maupun menetap. Lambat laun tempat tinggal tersebut
menjadi koloni-koloni, seperti koloni China dan koloni Arab. Selanjutnya, koloni-koloni
tersebut menjadi perkampungan, seperti pecinan
(kampung China) dan Pakojan
(kampung orang-orang dari India, yang kemudian diambil alih orang-orang Arab).
2.
Perkawinan
Perkawinan juga merupakan cara penyebaran Islam yang menonjol. para
pedagang-pedagang yang mendarat di Jawa dan menetap, banyak yang akhirnya
menikahi wanita-wanita lokal. Islamisasi melalui saluran ini merupakan proses
pengislaman yang paling mudah. Ikatan perkawinan bagi individu yang terlibat,
yaitu suami dan istri. Mereka membentuk keluarga yang menjadi inti masyarakat,
yang juga membentuk inti keluarga muslim. Dari perkawinan ini, terbentuklah
pertalian kekerabatan yang lebih besar antara pihak keluarga laki-laki (suami)
dan keluarga perempuan (istri).
Saluran perkawinan atau keluarga merupakan saluran yang memegang peranan
penting dalam proses internalisasi ajaran Islam di Indonesia, khususnya Jawa,
baik dalam arti pengislaman maupun pemasukan nilai-nilai dan norma-norma Islam
ke dalam lingkungan masyarakat. Islamisasi melalui perkawinan ini akan semakin
menguntungkan apabila perkawinan terjadi antara saudagar Muslim, kiai, atau
bangsawan yang menikahi anak seorang raja, keturunan bangsawan atau anggota
kerajaan lainnya. Hal ini mengingat status sosial, ekonomi, dan politik mereka
-pada konteks waktu itu- akan turut mempercepat proses Islamisasi.
3.
Tasawuf
Tasawuf juga menjadi proses penting dalam Islamisasi Jawa. Tasawuf juga
termasuk kategori media yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa
Indonesia yang meninggalkan banyak bukti jelas berupa naskah-naskah antara abad
ke-13 dan ke-18 M.[4] Hal ini berhubungan dengan
langsung dengan penyebaran Islam di Indonesia dan memegang sebagian peranan
penting dalam organisasi masyarakat di kota-kota pelabuhan. Tidak jarang ajaran
tasawuf ini disesuaikan dengan ajaran-ajaran mistik lokal yang sudah dibentuk
kebudayaan Hindu-Buddha. Mereka berusaha meramu ajaran Islam untuk sesuai
dengan alam pikiran masyarakat lokal sehingga antara ajaran Islam dan
kepercayaan masyarakat lokal tidak saling berbenturan. Di antara ahli tasawuf
yang merumuskan ajarannya dan mengandung persamaan dengan alam pikiran (mistik)
masyarakat Indonesia adalah Hamzah Fansuri, Syamsudin al-Sumeterani, syaikh
Siti Jenar, dan Sunan Panggung. Mereka bersedia memakai unsur-unsur kultur
pra-Islam untuk menyebarkan agama Isalam. Menurut A.H. Johns, ajaran Jawa,
dipertahankan sedangkan tokoh-tokohnya diberi nama Islam, seperti dalam cerita
Bimasuci yang disadur menjadi Hikayat Syech
Maghribi. Ajaran mistik semacam itu juga terdapat pada kelompok-kelompok
mistik abad ke-19, seperti Sumarah, Sapta
Dharma, Bratakesawa, dan Pangestu.[5]
4.
Pendidikan
Pendidikan juga memiliki andil yang besar terhadap Islamisasi di Jawa.
Sesuai dengan kebutuhan zaman, mereka perlu tempat atau lembaga untuk menampung
anak-anak mereka agar bisa meningkatkan atau memperdalam ilmu agamanya. Lembaga
umum yang bisa menampung kebutuhan pendidikan, antara lain: masjid, langgar,
atau komunitas yang lebih kecil, seperti keluarga. Dengan demikian, muncullah
lembaga-lembaga pendidikan Islam secara informal di masyarakat. Sebelum masa
kolonisasi, daerah-daerah Islam di Jawa sudah mempunyai sistem pendidikan yang
menitikberatkan pada pendidikan membaca al-Qur’an, pelaksanaan shalat, dan
pelajaran tentang kewajiban-kewajiban pokok agama.
Sejalan dengan proses penyebaran Islam di Jawa, pendidikan Islam mulai
tumbuh, meskipun masih bersifat individual. Kemudian, dengan memanfaatkan
lembaga-lembaga masjid, surau, dan langgar, mulailah secara bertahap
dilangsungkan pengajian umum mengenai tulis-baca al-Qur’an dan wawasan
keagamaan. Bentuk yang paling mendasar dari bentuk pendidikan ini umumnya
disebut pengajian al-Qur’an. Pendidikan ini, selain yang telah disebutkan di
atas, berlangsung di rumah imam masjid atau anggota masyarakat Islam yang saleh
lainnya. Di tempat-tempat tersebut, anak-anak Muslim diberi bekal pengetahuan
agama, pengetahuan membaca al-Qur’an dan kecakapan lainnya yang diperlukan bagi
kehidupan sehari-hari sebagai seorang Muslim.
Selain itu, ada lembaga pesantren atau pondok yang diselenggarakan oleh
guru-guru agama, kiai, atau ulama. Oleh karena itu, dalam masyarakat Muslim di
Indonesia, khususnya Jawa-secara tradisional- pendidikan telah dijalankan pada
dua jenjang, yaitu pengajian al-Qur’an, sebagai pendidikan dasar, dan pondok
pesantren, sebagai pendidikan lanjutan, walaupun keduanya secara formal tidak
ada keterikatan. Lembaga ini berperan penting dalam penyebaran Islam ke
wilayah-wilayah yang lebih luas. Di lembaga inilah calon guru agama, calon kiai
atau calon ulama dididik dan dibina. Mereka yang telah keluar dari pesantren
kemudian menuju ke kampung atau ke desanya masing-masing. Di tempat asalnya
inilah mereka menjadi pemimpin agama, dan tidak jarang mendirikan pesantren
baru. Tidak jarang pula para raja atau kaum bangsawan mengundang para kiai atau
ulama yang diangkat sebagai guru agama bagi keluarganya. Banyak juga para kiai
yang diangkat sebagai penasehat kerajaan, sehingga memungkinkan bagi mereka
untuk memberikan pengaruh di bidang politik kepada raja.
5.
Kesenian
Islamisasi juga dilakukan melalui kesenian, yaitu seni bangunan, seni
pahat (ukir), seni musik, seni tari dan seni sastra. Seni bangunan dan seni
pahat banyak dijumpai dalam masjid-masjid kuno. Di Indonesia, masjid-masjid
kuno memiliki kekhasan sendiri. dalam denahnya, masjid itu berbentuk persegi
atau bujur sangkar dengan bagian kaki agak tinggi dan pejal, sedangkan atapnya
bertumpang dua, tiga, lima, atau lebih. Masjid tersebut dikelilingi oleh parit
atau kolam air pada bagian depan atau sampingnya dan berserambi. Bagian-bagian
lain seperti mihrab dengan lengkung pola kalamakara,
mimbar dengan ukiran pola teratai, dan mastaka
atau memolo jelas menunjukan
pola-pola seni bangunan tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum
kedatangan Islam.
Bentuk bangunan pada masjid kuno di Jawa mengadaptasi pola-pola bangunan
atau keyakinan Hindu tersebut menunjukan
bahwa Islam disebarkan dengan jalan damai. Selain itu, secara kejiwaan dan
strategi dakwah, penerusan tradisi seni bangunan dan seni ukir pra-Islam
merupakan alat Islamisasi yang sangat bijaksana sehingga bisa menarik
orang-orang non-Islam untuk memeluk Islam sebagai pedoman hidup barunya. Hal
ini dapat dijumpai dibeberapa masjid kuno yang masih mempertahankan bangunan
berasiktektur Hindu. Ada juga daerah kantong Muslim yang masyarakatnya
memandang tau menyembelih sapi, sebagai binatang yang disucikan oleh umat
Hindu. Kota Kudus merupakan daerah sesuai dengan kedua contoh ini.
Demikian pula saluran Islamisasi melalui seni tari, seni musik dan seni
sastra. Dalam upacara-upacara keagamaan, seperti Maulud Nabi, sering
dipertunjukan seni tari atau seni musik tradisional misalnya sekaten yang terdapat di Kerato
Yogyakarta dan Surakarta, sedangkan di Cirebon seni musik itu dibunyikan pada
perayaan Grebeg Maulud. Begitu pula
dengan tarian seperti dedewan, debus,
birahi, dan bebeksan ditampilkan
dalam upacara-upacara tertentu. Contoh lainnya adalah Islamisasi pertunjukan
wayang. Konon, sunan Kalijaga merupakan tokoh yang mahir memainkan wayang. Dia
tidak pernah meminta upah dalam pertunjukannya, tetapi dia hanya minta agar
para penonton mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian cerita
wayangnya masih diambil dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi dengan
bertahap nama tokoh-tokohnya diganti dengan pahlawan Islam.
Islamisasi melalui seni juga tampak dalam bidang karya sastra. Banyak
cerita babad dan hikayat yang ditulis
dalam huruf Jawi, Pegon, dan Arab. Beberapa kitab tasawuf
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan beberapa lagi ke dalam bahasa daerah
lainnya. Ajaran tasawuf Hamzah Fansuri disusun dalam bentuk syair Melayu agar
sudah dimengerti oleh orang-orang Indonesia yang tidak mengerti bahasa Arab
atau Persia. Bentuk huruf Jawi dalam sastra Melayu yang merupakan adaptasi dari
huruf-huruf Arab menjadi contoh lain dari hal ini.
C.
Peranan
Walisongo
Ulama sangat berjasa besar dalam menyebarkan agama
Islam kepada penduduk pribumi sehingga Islam dipeluk oleh mayoritas bangsa
Indonesia. Para penyebar agama Islam di Jawa dikenal dengan sebutan Walisongo.
Istilah wali berasal dari bahasa Arab yaitu aulia,
yang artinya orang yang dekat dengan Allah SWT karena ketaqwaannya.
Jumlah wali dianggap Sembilan (songo) meskipun
sebenarnya lebih dari itu, karena jumlah Sembilan orang itu untuk menyebarkan
nilai-nilai moral ke segala penjuru. Sehubungan dengan segala pencuru wilayah
ini, orang Jawa mengenal istilah keblat
papat limo pancer. Keblat papat,
yaitu utara-timur-selatan-barat, dilengkapi dengan arah di antaranya berjumlah
delapan, ditambah dengan pusatnya (paancer)
menjadi sembilan.[6]
Istilah keblat papatlimo pancer ini
selalu diucapkan oleh orang yang memimpin suatu kenduri menurut adat Jawa,
berbeda dengan apa yang diucapkan oleh modin
atau kaum yang memimpin kenduri
dengan warna Islam. Sembilan wali tersebut ialah sebagai berikut:[7]
1. Sunan
Gresik (Syeikh Maulana Malik Ibrahim)
Syeikh
Maulana Malik Ibrahim lahir pada tahun 1350 M. Ada yang berpendapat bahwa
nasabnya bertalian dengan seorang sayyid dari Hadramaut. Di samping itu, ada
yang mengatakan bahwa Sunan Gresik
berasal dari Gujarat dan merupakan pedagang yang dating ke Pulau Jawa kemudian
menyebarkan ajaran Islam.
Sunan
Gresik dibesarkan di tengah-tengah keluarga muslim sehingga tidak heran kalau
sejak kecil ia sudah belajar agama Islam. Setelah dewasa, ia menikah dengan
Dewi Candra Wulan, putrid pertama Putri Campa yang telah menganut Islam. Adapun
Putri Campa merupakan istri dari raja Majapahit, Brawijaya.
2. Sunan
Ampel (Raden Rahmat)
Raden
rahmat adalah putra Syeikh Maulana Malik Ibrahim dan Dewi Candra Wulan. Ia memulai
dakwahnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya.
Sunan
Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan istrinya dari
kalangan istana. Dengan demikian ia tidak mendapatkan hambatan yang berarti
dalam berdakwah. Ia juga merupakan penyokong Kesultanan Demak dan ikut
mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1497 M bersama wali-wali yang lain.
Sunan
Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Sebaliknya,
Sunan Kalijaga mrngusulkan agar adat-istiadat Jawa diberi warna Islam. Sunan
Ampel setuju, walaupun ia tetap menginginkan adat-istiadat tersebut
dihilangkan, karena merupakan bagian dari bid’ah. Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 M di Ampel dan
dimakamkan di kompleks pemakaman Masjid Ampel, Surabaya.
3. Sunan
Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim)
Sunan
Bonang merupakan sepupu Sunan Kalijaga. Setelah belajar Islam di Pasai (Aceh),
ia ke Tuban (Jawa Timur) untuk mendirikan pondok pesantren. Dalam berdakwah,
Sunan Bonang menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa. Ia pun
menyisipkan ajaran-ajaran Islam ke dalam cerita wayang dan music gamelan.
Kegiatan
dakwah Sunan Bonang dipusatkan di Tuban dan menjadikan pesantren sebagai wadah
pendidikan kader dakwah. Sunan boning memberikan pendidikan Islam secara
mendalam kepada murid-muridnya, termasuk Raden Fatah. Sunan Bonang wafat pada
tahun 1525 M dan dimakamkan di Tuban.
4. Sunan
Giri (Raden Paku)
Raden
Paku berdakwah di Giri dengan mendirikan pesantren. Para santrinya banyak yang
berasal dari rakyat jelata. Sunan Giri terkenal sebagai pendidik yang berjiwa
demokratis. Ia juga merupakan orang yang berpengaruh dalam Kesultanan Demak.
Hal ini terlihat ketika muncul suatu masalah, wali-wali yang lain selalu
menantikan pertimbangannya. Sunan Giri wafat pada awal pertengahan abad XVI M
dan dimakamkan di Bukit Gresik, Jawa Timur.
5. Sunan
Drajat (Raden Qasim)
Sunan
Drajat terkenal mempunyai jiwa social dan tema-tema dakwahnya selalu
berorientasi pada gotong-royong. Ia selalu menolong orang-orang yang
membutuhkan, mengasihi anak yatim, dan menyantuni fakir miskin. Sunan Drajat
wafat pada pertengahan abad XVI M dan dimakamkan di Panciran, Lamongan, Jawa
Timur.
6. Sunan
Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Wilayah
dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas. Ia suka berkeliling dan memperhatikan
keadaan masyarakat. Oleh sebab itu, semua lapisan masyarakat sangat simpati
kepadanya. Begitu pula dengan Raden Fatah. Ia sangat menghormatinya.
Sunan
Kalijaga berdakwah menggunakan berbagai media seni, seperti pertunjukkan wayang
kulit, seni gamelan, seni suara, seni ukir, seni pahat, busana, dan
kesusastraan. Ia wafat pada pertengahan abad XV M dan dimakamkan di Kadilangu,
Demak, Jawa Tengah.
7. Sunan
Kudus (Ja’far Shadiq)
Sunan
Kudus adalah putra dari Utsman Haji. Adapun Utsman Haji adalah orang yang
menyebarkan agama Islam di Jipang Panolan, Blora. Sunan kudus menyebarkan agama
Islam di Kudus. Ia ahli dibidang ilmu fiqh, ushul fiqh, tauhid, hadits, dan
logika. Untuk kepentingan dakwah, ia menciptakan cerita keagamaan yang berjudul
Gending Maskumambang dan Mijil. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550
M dan dimakamkan di pemakaman Masjid Menara Kudus.
8. Sunan
Muria (Raden Umar Said)
Sunan
Muria adalah putra dari Sunan Kalijaga. Ia berdakwah di Gunung Muria dan di
desa-desa terpencil lainnya. Objek dakwahnya adalah pedagang, nelayan, dan
rakyat biasa. Ia juga menciptakan tembang yang berjudul Sinom dan Kinanti. Sunan
Muria wafat pada abad XVI M dan dimakamkan di Gunung Muria, Kudus.
9. Sunan
Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Menurut
Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung
Jati dihormati oleh para sultan Demak dan Pajang. Di samping itu, ia diberi
gelar Raja Pandita. Dakwahnya dilakukan melalui pendekatan structural. Ia
mendirikan dan memimpin Kesultanan Cirebon dan Banten. Di samping itu, ia juga
mendirikan pesantren Gunung Jati di Cirebon. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun
1570 M dan dimakamkan di Gunung Jati, desa Astana, Cirebon.
Wali-wali
tersebut adalah penyebar agama Islam yang terus menerus berjuang dan
mengabdikan hidupnya untuk kepentingan agama Islam dengan berbagai caranya
masing-masing. Gerakan Islamisasi oleh para wali tersebut dipusatkan di daerah
pantai utara Jawa dengan mendirikan pusat-pusat pengembangan Islam. Secara
garis besar, peranan wali adalah sebagai berikut:
1. Dibidang
agama, sebagai penyebar agama Islam baik dengan mendirikan pondok pesantren,
berdakwah, ataupun dengan media seni
2. Dibidang
seni dan budaya, wali-wali tersebut berperan sebgai pengembang kebudayaan dan
kesenian setempat yang disesuaikan dengan agama/budaya Islam
3. Dibidang
politik, para wali tersebut berperan sebagai pendukung kerajaan-kerajaan Islam
maupun sebagai penasehat raja-raja.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Islam masuk ke
Indonesia dengan jalan damai pada abad ke-7 dan mengalami perkembangannya pada
abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab,
bangsa Persia dan Gujarat (India). Penyebaran Islam di Jawa melalui dua pendekatan
yaitu pendekatan islamisasi kultur jawa dan pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam. Sedangkan
proses Islamisasi yaitu melalui perdagangan, perkawinan, tarekat (tasawuf),
pendidikan dan kesenian. Secara garis besar,
peranan wali adalah sebagai berikut:
1. Dibidang
agama, sebagai penyebar agama Islam baik dengan mendirikan pondok pesantren,
berdakwah, ataupun dengan media seni
2. Dibidang
seni dan budaya, wali-wali tersebut berperan sebgai pengembang kebudayaan dan
kesenian setempat yang disesuaikan dengan agama/budaya Islam
3. Dibidang
politik, para wali tersebut berperan sebagai pendukung kerajaan-kerajaan Islam
maupun sebagai penasehat raja-raja.
B.
Penutup
Demikianlah
makalah ini kami susun dan tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini. semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. Sejarah Dakwah. Jakarta: Amzah. 2014
Huda, Nor. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual
Islam di Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2014
Shodiq, Potret
Islam Jawa, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002
Simon, Hasanu. Misteri Syeikh Siti Jenar: Peran Walisongo
Dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
BIODATA
PEMAKALAH
1. Nama : Siti nur azizah
NIM : 133311081
Jurusan : KI 4B
TTL : Grobogan,20 februari 1994
Alamat : Kebonagung, RT 02/RW 01
Kec. Tegowanu Kab. Grobogan Jateng
No.
Telp. : 085740715004
E_mail : Siti_nurazizah 49@yahoo.com
Pendidikan :
SD :SDN 2 Kebonagung
SMP :MTS Nurul Huda
tegowanu
SMA :MA Tajul Ulum Brabo
Sekarang masih menempuh pendidikan S1 di UIN Walisongo
Semarang.
2. Nama : Dina Milati Azka
NIM : 133511002
Jurusan : PM-4A
TTL : Batang, 28 Oktober 1995
Alamat : Desa Boja RT02/RW 01 kecamatan Tersono Kabupaten Batang
No.
Telp. : 081542095136
E_mail : dinaazka60@gmail.com
Pendidikan :
SD : SDN 01 Boja Tersono
MTs : Mts Nurussalam Tersono
MA : MA NU 01 Banyuputih- Batang
Sekarang masih menempuh pendidikan S1 di UIN Walisongo
Semarang.
3. Nama : Melinda Khoirunnisa’
NIM : 133511003
Jurusan : PM-4A
TTL : Jepara, 19 September 1995
Alamat : Ds. Gemiring Kidul Kec. Nalumsari
Kab. Jepara
No.
Telp. : 089667060279
Pendidikan :
SD :
SD N 01 Gemiring Kidul
SMP : SMP N 01 Mayong
SMA : MAN 2 Kudus
Sekarang masih menempuh pendidikan S1 di UIN Walisongo
Semarang.
4. Nama : Lita Wulansari Widyaningsih
NIM : 133511006
Jurusan : PM-4A
TTL : Purbalingga, 4 Juni 1996
Alamat : Gumiwang, RT 04 RW 02, Kec. Kejobong, Kab. Purbalingga
53392
No.
Telp. : 085710713399
E_mail : litawulansari04@yahoo.co.id
Pendidikan :
SD : MI Muhammadiyah Gumiwang
SMP : MTs Muhammadiyah
03 Bandingan
SMA : MAN 1 Purbalingga
Sekarang masih menempuh pendidikan S1 di UIN Walisongo
Semarang.
[1] Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2002, hlm.21-27
[2] Shodiq, Potret Islam Jawa, hlm. 41.
[3]
Shodiq, Potret Islam Jawa,
hlm. 43
[4] Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014, hlm. 46
[5] Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, hlm.
47
[6] Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Walisongo
Dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 50
[7] Samsul Munir Amin, Sejarah Dakwah, Jakarta: Amzah, 2014,
hlm. 229
Lucky Club: Live Casino & Live Dealer Sites
BalasHapusLucky Club is a fully licensed and regulated luckyclub.live betting site based in Curacao, and the latest betting products available at the moment. The site is licensed